Dari Buku Bekas Jadi Peluang Usaha
Tidak
seperti kebanyakan toko buku pada umumnya, yang menyusun buku-buku secara rapi
di rak-rak buku sesuai dengan jenis
bukunya. Toko buku yang terletak di lantai dasar pusat perbelanjaan, di kawasan
Jakarta Selatan ini tampak semerawut. Buku-buku disusun asal, tanpa
menghiraukan jenis buku yang ada.
Selain
Senen atau Kwitang yang menjadi tempat berburu buku-buku bekas, di Blok M
Square pun terdapat tempat serupa. Di sana banyak toko buku yang menjual
berbagai jenis buku, mulai dari buku kuliah, buku sekolah, komik, novel lama,
bahkan sampai buku langka sekalipun.
Hampir
sebagian besar penjual di sana adalah penjual buku-buku bekas, meski ada beberapa
toko yang juga menjual buku baru, tapi tak semua buku baru adalah buku asli
alias buku bajakan. Hal ini menuntut pembeli untuk selalu waspada dalam membeli
buku, meski harga yang ditawarkan relatif murah daripada buku asli yang dijual
di toko buku pada umumnya.
Berbeda
dari penjual buku lainnya, Wondry, 28 tahun, pria yang memutuskan berdagang
buku sejak 2012 ini masih tetap mempertahankan prinsipnya, untuk tidak menjual
buku-buku bajakan, “Saya masih mending bekas, yang penting asli. Kita memang dasarnya
buku-buku bekas dan memang nggak sreg kalau jual buku bajakan,” ujar Wondry
menegaskan, “Bertentangan dengan hati, meski suka ada pertentangan dengan
pedagang lain.”
Pertentangan
dengan sesama penjual tentu ada, tetapi ia tetap berusaha menghargai pilihan
rekan sesama penjual buku lainnya. Ia menerangkan, “Setiap orang kan punya
pemikiran dan pandangan masing-masing, tapi kalau saya lebih baik enggak, tapi
saya pun nggak melarang mereka,”
Sebelum
akhirnya memiliki toko sendiri, dulunya ia masih ikut saudaranya, Aris, yang
lebih dulu berjualan buku di Blok M. Sambil menjaga toko, ia juga berusaha
mengumpulkan modal sehingga setahun setelah ikut saudarnya itu, ia pun akhirnya
membuka toko buku sendiri.
Toko
buku itu terletak tak jauh dari toko miliki Aris. Hanya dipisahkan dua toko dan
masih berada di deretan dan lorong yang sama. Di lorong itu, kerap ditemui segerombolan
pedagang atau bapak-bapak tua yang tengah asyik bermain catur. Layaknya
menyaksikan pertandingan olahraga, melihat pertandingan catur di sana tak kalah
seru dan menegangkan. Suara riuh kerap terdengar, meski letaknya berada di
lorong paling belakang sekalipun.
Pria
bertubuh kurus, yang kerap bermain catur di sela-sela menjaga toko dan menunggu
pembeli datang ini, mengaku memang suka membaca, terutama membaca komik. Sehingga
fokus utama buku-buku yang dijualnya adalah komik-komik bekas yang memang komik keluaran lama. Bahkan sudah sangat langka karena barangnya sulit didapatkan atau sudah tidak ada di toko buku pada umumnya
seperti Gramedia.
Saat ini, Wondry sudah memiliki tiga toko,
dua toko diantaranya adalah toko yang ia beli dengan sistem cicilan, sementara
satu toko lagi adalah toko sewaan. Dalam sebulan, untuk bayaran cicilan dan
sewa toko, ia mengaku, menghabiskan dana sebesar delapan juta rupiah. Sementara
sisanya, ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari atau modal membeli buku lama
untuk stok baru di tokonya.
Untuk
bisa membayar biaya tempat, yang semula hanya berfokus pada komik-komik lama
saja, ia pun mulai merambah ke buku-buku umum atau novel-novel lama, “Kita
sebenarnya, hampir semua jual buku, selain buku-buku kuliahan dan buku
pelajaran. Kalau soal buku pelajaran, gitu, kita serahin ke kakak sih, ke toko
buku sebelah ini, sama Mas Izam.”
Di
keluarga selain dirinya yang berjualan buku, ada pula Izam, kakak kandungnya
yang ikut berjualan buku, sebelum Izam
berjualan dan membuka toko buku sendiri, ia pun dulunya ikut Wondry berjualan
dan menjaga toko, sekaligus belajar berjualan buku.
Tapi,
semenjak Izam memiliki toko buku sendiri, yang letaknya persis di samping toko
adiknya itu, Wondry mengaku kesulitan mengurus tokonya, sehingga tak lama
setelah itu, ia pun meminta bantuan Muslikhun untuk membantunya berjualan buku,
“Dulu saya masih ada yang bantuin, Mas Izam, tapi setelah dia buka toko
sendiri, saya jadi keteteran sendiri, butuh tenaga kerja baru, makanya waktu
itu saya ajak Mas Likhun.”
Ahmad
Muslikhun atau biasa disapa Likhun ini dulunya tinggal di Pondok Pesantren
Nurul Ikhsan di Tegal, setelah selesai mondok, ia tinggal bersama keluarga kiyai selama
hampir lima tahun. Ketika mendapat tawaran dari teman satu kampungnya itu,
untuk berjualan buku, ia pun izin meninggalkan pesantren, lalu hijrah ke
Jakarta dan kini tinggal bersama dengan Wondry dan pamannya, yang merupakan pemasok
buku-buku bekas.
“Kalau
saya dari awal nggak ada niatan jualan buku, saya diajak Mas Wondry, diajak ke
sini untuk jualan buku,” jelas Likhun sambil tersenyum lebar menunjukan
sedertan gigi-giginya.
Ketika
pertama kali berjualan buku, Likhun merasa takjub karena baginya, toko buku
adalah surganya ilmu, “Wah, ini gudang ilmu nih di sini, waktu pertama kali
datang ke sini,” Tapi, seiring berjalannya waktu, rasa takjub itu memudar dan
berganti menjadi bosan, “Awalnya saya
suka baca buku waktu datang ke sini, tapi setelah ke sini-sini makin bosan, makin
bosan.”
Berbeda
dengan Likhun, di sisi lain, dalam menjalankan usaha ini, Wondry mengaku, ia
menjalankannya dengan suka cita, bahkan tanpa ada rasa persaingan dengan penjual
buku lainnya yang berada di lorong yang sama, “Kalau di blok sini, sih, lebih
netral. Kadang ada kalanya, kalau butuh buku ini, bisa sistem barter atau ambil
dulu, bayarnya besok. Saling membantu aja, nggak ada istilah sistem saingan. Karena
semakin banyak penjual, malah kita makin asyik, makin ramai,” ungkap Wondry
riang.
Bagi
Wondry, usaha buku yang ia jalani adalah usaha keluarga. Beberapa penjual buku
di sana merupakan saudara atau kerabat dekat, mulai dari Aris sepupunya, Izam
kakak kandungnya, dan Likhun teman satu kampung dan satu kelurahan di Tegal,
serta pamannya yang merupakan pemasok buku-buku bekas, “Sebenarnya,
belanja-belanja buku ini, bukan di toko-toko atau lapak-lapak, tapi belanja
dari paman yang mencari buku-buku. Paman juga dari teman-temannya lagi.”
Buku-buku
yang ia dapatkan, sudah ada pemasoknya masing-masing. Tentunya selain dari
pamannya, ia juga memiliki pemasok lainnya.
Wondry
mengaku, terkadang ada pembeli yang menawar buku-bukunya dengan harga murah
karena buku-buku itu adalah buku bekas. Padahal, sekali pun itu
buku bekas, buku tersebut tidak dibeli secara kiloan.
Ia kerap memaklumi pembeli semacam ini dan tetap mempertahankan harga jualnya karena ia masih harus membayar biaya cicilan toko dan sewa setiap bulannya. Jika bukan karena biaya tempat yang mahal, harga buku-buku pun bisa sedikit lebih murah. Meski begitu, toko buku di sana memiliki kondisi lebih baik dan nyaman, berbeda dengan kondisi toko buku di Senen atau Kwitang.
Ia kerap memaklumi pembeli semacam ini dan tetap mempertahankan harga jualnya karena ia masih harus membayar biaya cicilan toko dan sewa setiap bulannya. Jika bukan karena biaya tempat yang mahal, harga buku-buku pun bisa sedikit lebih murah. Meski begitu, toko buku di sana memiliki kondisi lebih baik dan nyaman, berbeda dengan kondisi toko buku di Senen atau Kwitang.
Awalnya,
Wondry mengkhususkan tokonya menjual komik-komik saja, namun peluang pasar yang
lebih besar, membuat dirinya memperluas usahanya, ia mengaku belajar dari para
pembeli yang sering datang ke tokonya mencari-cari buku tertentu, saking sering
buku-buku itu dicari, ia menyadari bahwa peluang menjual buku di luar komik
ternyata cukup besar, “Sebenarnya, di sini spesialis komik-komik. Cuma kan,
makin ke sini, semakin tahu, bahwa buku ini bagus, jadi ya, kita ambil
peluanglah.”
Bagi
penjual di sana, buku bagus atau tidaknya dapat dinilai dari permintaan pembeli,
seperti yang diungkapkan Wondry ketika ditanya soal buku yang dinilai bagus,
“Buku bagus dinilai dari peminat pelangannya. Bukan mereka yang belajar sama
kita, tapi kita yang belajar sama mereka,” Ia menambahkan bahwa, “Kita
mempelajari mana buku yang laku tinggi atau enggak, berawal dari konsumen
sendiri. Banyak yang nyari atau enggak. Kalau bukunya susah didapat dan banyak
yang nyari, itu berarti bukunya bagus dan bisa dijual tinggi.”
Buku-buku
yang dinilai laku di pasaran diantaranya adalah buku-buku lama dan langka yang
sulit didapatkan seperti karya Haruki Murakami penulis asal Jepang, karya-karya
sastrawan Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Dan Brown, dan karya-karya
penulis lainnya. Sekali pun, ia tidak membaca buku-buku tersebut, ia sudah bisa
mengetahui buku yang dinilai bagus atau tidak dari banyaknya permintaan akan
buku itu sendiri. Semakin langka buku dan banyak dicari, harga yang dijual
dapat lebih tinggi.
Selain
dari pengarangnya, harga sebuah buku bisa ditentukan dari jenis buku dan
cetakannya, “Cetakan mempengaruhi juga. Cetakan pertama paling mahal. Itu semua
rata-rata yang beli kolektor. Kaya
bukunya Pram, yang cetakan lama, enak dijualnya. Itu barang-barang langka lah,
bisa dijual tinggi.”
Selain
menjual buku-bukunya di toko, Wondry juga menjual buku-bukunya secara daring di
Tokopedia dan Bukalapak. Untuk urusan menjual secara daring, ia menyerahkannya
kepada Likhun untuk mengelolanya. Bahkan, awal mula berjualan secara daring ini
datangnya dari Likhun sendiri, yang berinisiatif memfoto buku-buku di sana,
lalu mengunggahnya secara diam-diam.
Setelah
banyak pesanan datang dan melihat keuntungan yang didapat lebih besar, Wondry
pun mulai mendukung Likhun untuk mengembangkan usahanya itu. Buku-buku yang
dijual secara daring memiliki harga relatif lebih mahal dibandingkan harga yang
dijual di toko. Hal ini dilakukan agar bisa bersaing dengan para penjual
lainnya.
Meskipun,
buku-buku yang dijual adalah buku bekas, yang terabaikan dan sudah tidak
terpakai lagi, Wondry, justru mampu memanfaatkan peluang tersebut untuk memiliki
usaha sendiri, bahkan mampu memenuhi kehidupannya sendiri dan keluarga.
2 komentar
Bagaimana ya cari suplier untuk buka usaha buku bekas di kota kita
REPLYSaya sudah memulai bisnis buku bekas ini sejak tahun 2013. Dan telah membuat toko buku bekas online di www.aksiku.com, silahkan mampir untuk melihat lihat, barangkali ada yg diminati. Terima kasih.
REPLY