Novel Si Bungsu “Amelia” karya Tere Liye
Tere Liye selalu
berhasil membuat aku menangis setiap membaca novel-novelnya. Dan, beberapa hari
yang lalu, lagi-lagi aku dibuat menangis ketika membaca novel berjudul ‘Amelia’.
Awalnya, aku sempat tidak tertarik membaca novel Amelia serial anak-anak Mamak
terbitan Republika ini. Alasannya sederhana, karena aku belum pernah membaca
novel serial anak-anak Mamak sebelumnya, mulai dari Eliana, Pukat, dan Burlian.
Kalau ditanya
kenapa aku tidak membaca novel serial anak-anak Makak yang sebelum-sebelumnya dan langsung membaca novel Amelia, itu
karena novel Amelia ini aku dapatkan dari hasil perlombaan foto buku terbitan Republika di instagram yang diadakan
pemilik akun @bukurepublika pada September lalu, yang bertepatan pada
hari ulang tahunku.
![]() |
Novel Amelia Serial Anak-anak Mamak |
Aku senang
mendapat hadiah novel ini karena sebelumnya aku sempat penasaran dengan novel ini,
tapi sayang rasa penasaranku belum kesampaian untuk bisa membelinya. Sampai
akhirnya aku beruntung memenangkan perlombaan foto dan mendapatkan novel Amelia
sebagai hadiahnya. Senang sekali mendapat buku di hari ulang tahunku saat itu.
Menurutku, ini hadiah terbaik yang kudapatkan diusiaku yang ke-19 tahun, dibanding
hadiah-hadiah lain yang kuterima. Meski begitu, aku tetap berterima kasih
kepada teman-temanku yang masih mengingat hari kelahiranku dan memberi hadiah.
Padahal, diusia yang ke-19 itu, aku tidak begitu mengharapkan hadiah. Mendapatkan
doa pun itu sudah menjadi hadiah yang terbaik bagiku.
Oke, balik lagi
soal novel Amelia ini, meski awalnya sempat ragu untuk membacanya karena aku
takut tidak mengerti jalan ceritanya. Apalagi, aku langsung membaca buku
keempatnya. Tidak pernah membaca novel serial ini sebelum-sebelumnya. Tapi, setelah membaca
bagian prolognya, aku justru tertarik untuk lanjut membacanya. Aku penasaran
dengan cerita Amelia ini. Selain itu, aku juga rindu membaca novel salah satu
penulis favoritku. Yang telah banyak memberiku inspirasi dalam menulis.
Pada bagian
prolog itu, cerita dimulai dengan sosok Amelia sebagai tokoh utama dalam cerita
tersebut, meski begitu tetap ada bagian perkenalan ketiga kakaknya dibagian prolog.
Mulai dari Eliana atau biasa dipanggil Eli, yang merupakan anak pertama dalam
keluarga. Ia dianggap sebagai anak pemberani. Meski aku tidak tahu di mana
letak keberanian Eli. Sementara anak kedua yaitu Pukat. Ia anak laki-laki yang
dianggap cerdas. Lalu, anak ketiga bernama Burlian, meski terkenal sebagai anak
yang jahil, tapi ia tetap dianggap sebagai
‘Anak Spesial’ karena memiliki keteguhan hati.
Ketika membaca,
aku tidak tahu maksud dari perkenalan singkat itu sampai pada akhirnya aku bisa
mengerti maksudnya setelah membaca novel ini. Tapi, kalau ingin mengetahui
cerita lengkap masing-masing dari mereka. Maka, mesti membaca novelnya mulai
dari awal.
Sementara Amelia
diceritakan sebagai anak bungsu yang dianggap nantinya hanya akan menjadi ‘Penunggu
Rumah”. Pada saat itu, perkampungan yang berada persis di Lembah Bukti Barisan
masih mempercayai soal tradisi anak bungsu yang dianggap sebagai penunggu rumah.
Anak bungsu menetap di rumah orang tua. Ketika seluruh kakak-kakak pergi
merantau jauh, menyisakan orangtua yang semakin lanjut usia, anak bungsu harus
tinggal di rumah agar ada yang bisa merawat orangtua mereka. Sekali pun telah
berkeluarga, anak bungsu bersama suami atau istrinya tetap tinggal di rumah
orangtua, ‘menunggu rumah’.
Hal ini juga kerap
membuat Burlian mengolok-olok amel, bilang “Amel si bungsu penunggu rumah” atau
“Kau tidak usah ikut kami bermain, Amel. Kau ditakdirkan menunggu rumah”. Seakan-akan anak bungsu terlahir dengan takdir sebagai penunggu rumah, sejauh
apa pun anak bungsu pergi, tapi takdir akan membawanya kembali.
Sudut
Pandang
Pada novel Amelia, sudut pandang jelas menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”. Sosok ‘Aku’ yang diceritakan di novel ini menggunakan sudut pandang Amel sebagai tokoh utamanya. Berikut ini bagian awal prolog yang memperlihatkan sudut pandang orang pertama.
Halo Semua, kenalkan, namaku Amelia. Di sekolah aku selalu dipanggil ‘Amel’. Di tempat belajar mengaji Nek Kiba, di sungai, di balai kampung, teman-teman bermain bahkan semua orang memanggilku ‘Amel’. Juga di rumah. Tapi, dalam situasi tertentu, kadang aku dipanggil dengan nama lengkap, ‘Amelia.’
Penokohan
Di dalam novel ini, banyak tokoh yang kusuka. Mulai dari Pak Bin, seorang guru yang telah mengajar lebih dari dua puluh lima tahun. Hampir semua anak di kampung adalah murid Pak Bin. Meski sudah mengajar puluhan tahun, ia tetap belum diangkat menjadi guru PNS karena ia terlalu jujur dalam tahap seleksi PNS. Namun sayang, cerita Pak Bin dalam novel ini tidak diceritakan secara mendalam karena cerita Pak Bin sudah ada di buku sebelumnya, Burlian.
Lalu ada sosok Bapak
yang adil dan sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak hanya Bapak, Mamak pun sama
seperti Bapak yang menyayangi anak-anaknya, meski cerewt sekali pun. Mereka sosok
orangtua yang baik menurutku dalam hal mendidik anak-anaknya. Tidak pernah
melakukan kekerasan, sekali pun anak-anaknya berbuat kesalahan. Yang ada justru
menasehati dengan baik-baik atau sekadar memberi hukuman berupa tugas supaya
anak-anaknya bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Sementara sosok
anak-anaknya, mulai dari Eliana, Pukat, dan Burlian persis seperti yang sudah
dijelaskan di awal. Eli merupakan sosok kakak yang pemberani sekaligus penyayang terhadap adik-adiknya,
meski ia memiliki kesan galak dan cerewet bagi ketiga adiknya. Tapi, dibalik
sikapnya itu, justru Eli menyayangi adiknya.
Kisah antara Eli
dan Amel kerap membuatku sedih dan menangis. Aku sebagai anak sulung sempat
merasakan beberapa hal seperti yang Eli rasakan. Sebagai anak pertama yang memiliki
tanggung jawab, terutama terhadap adik-adiknya. Meski Eli memiliki tugas dan tanggung
jawab yang lebih besar sekali pun, ia tidak pernah mengeluh. Tetap tegar dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Bagiku, Eli merupakan sosok kakak yang baik.
Sementara, Pukat
dan Burlian merupakan kakak beradik yang kompak. Aku kerap tertawa melihat
tingkat laku kedua singgung ini. Singgung ini merupakan panggilan untuk mereka yang kerap membuat masalah. Selain itu, ada sosok Wak Yati yang bijaksana
dan sering memberi nasehat kepada orang lain, termasuk Amel.
Salah satunya
seperti ini, “Sejauh-jauhnya kau pergi, setinggi apa pun mimpi kau, Amel, kau
tetap tidak bisa melupakan hakikat seorang perempuan. Menjadi istri, menjadi
ibu dari anak-anak kau kelak. Pun sama, termasuk sejauh-jauhnya kau pergi,
melihat dunia, rumah kita tetap ada di sini. Tanah kelahiran, tempat dibesarkan.”
Lalu, ada sosok Paman
Unus, ia adik dari Mamak yang disukai banyak orang karena sikapnya yang berjiwa petualang dan hidup penuh kebebasan. Melakukan segala hal yang disukainya. Selian
itu, ia juga memiliki wajah tampan yang membuat banyak gadis di kampung
tergila-gila padanya. Contohnya Maya, teman Amel yang menyukai Pama Unus. Saking sukanya
pada paman Unus, ia sampai memiliki cita-cita ingin seperti Paman Unus.
Dan, masih
banyak tokoh lain yang menurututku bisa menjadi teladan buat para pembacanya. Di
novel ini, Tere Liye seolah tidak banyak menghadirkan tokoh antagonis, sekali
pun ada, tokoh itu tidak begitu membuatku membencinya, justru
sebaliknya. Contohnya seperti Chuk Norris, teman sekelas Amel yang terkenal
nakal karena sering berbuat keributan di sekolah. Tapi, ia bersikap seperti itu pun ada
alasanya. Dan, setelah mengetahui hal itu justru membuatku bersimpati padanya.
Plot
Untuk alur cerita di novel ini sendiri beralur maju, meski ada bagian-bagian alur cerita yang berjalan mundur, tapi tidak banyak. Hanya beberapa bagian saja. Meski awalnya sempat khawatir, takut tidak bisa mengikuti alur ceritanya. Tapi, setelah membaca novel ini, menurutkut aku masih tetap bisa mengikuti jalan ceritanya. Jadi, untuk siapa pun yang mau membaca novel ini, tapi tidak membacanya dari awal serial, tidak perlu merasa khawatir. Kalian masih bisa tetap mengikuti ceritanya, sekali pun tidak membaca serial yang sebelumnya.
Bukannya khwatir tidak bisa mengikuti jalan ceritanya, aku justru jadi penasaran dengan ketiga serial sebelumnya. Aku penasaran bagaimana cerita tentang Eliana, Pukat, dan Burlian. Lalu, seperti apa ketiga kakak beradik itu menceritakan kisah mereka.
Pesan Moral yang Dapat dipetik
Membaca novel ini, banyak memberiku pelajaran tersendiri. Aku benar-benar suka novel ini. Bagiku, novel ini memiliki pesan moral yang bisa kita teladani atau kita pelajari. Setiap ucapan yang dikatakan para tokoh, terkadang memiliki pesan yang mendalam. Seperti beberapa kalimat di bawah ini.
“Menjadi anak nomor berapa pun, sama saja Amel. Sama pentingnya, sama posisinya. Hanya berbeda tanggung jawabnya saja sesuai usia masing-masing.”
Dari hal
tersebut bisa diambil pesannya, bahwa tidak perlu menyesali diri sendiri ketika
kita terlahir menjadi anak ke berapa pun, mau itu terlahir jadi anak sulung,
anak kedua, anak bungsu, sampai anak semata wayang sekalipun. Kita patut
bersyukur karena setiap anak memiliki posisi yang sama dan yang membedakannya hanya
terletak pada tanggung jawabnya saja.
“Tidak ada orang yang begitu cerewet, sering mengingatkan kalau dia tidak sayang. Justru ketika orang lain memutuskan mendiamkan, maka saat itulah dia sudah tidak peduli lagi. Tidak sayang lagi.”
“Tidak ada orang yang begitu cerewet, sering mengingatkan kalau dia tidak sayang. Justru ketika orang lain memutuskan mendiamkan, maka saat itulah dia sudah tidak peduli lagi. Tidak sayang lagi.”
Dari
kata-kata yang diucapkan di atas, memberiku pemahaman bahwa jangan pernah
menyalahartikan sikap cerewet orang lain, apa lagi itu kakak atau
orangtua sendiri, mereka bersikap seperti itu bukan berarti marah atau benci. Justru
karena mereka sayang. Dan sebaliknya, sikap diam dan tidak pedulilah yang menunjukan
bahwa orang itu tidak sayang dan tidak peduli.
Novel Amelia
juga mengajarkan tentang kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Hal ini
ditunjukan dari sikap Eli sebagai kakak. Seperti yang dikatakan Eli kepada Amel, “Kau
adikku, aku tidak akan pernah meninggalkan kau, Amel. Bukan karena Mamak akan
marah karena aku tidak menjaga kau. Tetapi karena kau adalah adik perempuanku. Aku
tidak akan pernah meninggalkan kau, Amel.”
Lalu, dalam novel ini juga ada nilai yang mengajarkan arti kesabaran. Dijelaskan bahwa kesabaran merupakan bagian dari sebuah usaha. Ketika kita sudah berusaha melakukan segala hal untuk mencapai tujuan atau apa pun yang kita inginkan, tapi tujuan atau keinginan itu belum tercapai saat itu. Maka, usaha yang perlu dilakukan dan merupakan tahap akhir dari suatu usaha adalah bersabar. Mungkin mengatakan sabar lebih mudah daripada membuktikannya. Tapi, selama kita bersabar setelah berusaha sekuat apa pun, pasti semua itu akan mendapat balasan.
Lalu, dalam novel ini juga ada nilai yang mengajarkan arti kesabaran. Dijelaskan bahwa kesabaran merupakan bagian dari sebuah usaha. Ketika kita sudah berusaha melakukan segala hal untuk mencapai tujuan atau apa pun yang kita inginkan, tapi tujuan atau keinginan itu belum tercapai saat itu. Maka, usaha yang perlu dilakukan dan merupakan tahap akhir dari suatu usaha adalah bersabar. Mungkin mengatakan sabar lebih mudah daripada membuktikannya. Tapi, selama kita bersabar setelah berusaha sekuat apa pun, pasti semua itu akan mendapat balasan.
"Kau harus bersabar, Amel. Bersabar juga usaha terbaik. Kau tetap melakukan apa yang telah kau lakukan selama ini. Terus peduli dan membantu. Cepat atau lambat, keajaiban pun akan runtuh. Batu paling besar pun akan berlubang oleh tetesan air hujan kecil yang terus-menerus."
"Hidup ini dipergilirkan satu sama lain. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Kadang kita tertawa, lantas kemudian kita terdiam, bahkan menangis. Itulah kehidupan. Barang siapa yang sabar, maka semua bisa dilewati dengan hati lapang."
Dalam novel Amelia ini juga mengajarkan betapa pentingnya menuntut ilmu. Ada beberapa kutipan yang menunjukan bahwa belajar dan menuntut ilmu adalah hal yang penting.
"Tidak pernah ada kata terlambat dalam belajar, Nak. Tidak kemarin, tidak hari ini, juga tidak akan pernah esok lusa."
"Seseorang yang mengerjakan amal, tapi dia tidak tahu tujuannya, tidak paham ilmunya, maka itu ibarat anak kecil yang disuruh mendirikan rumah. Tak tegak tiangnya. Tak kokoh dindingnya. Jangan tanya daun pintu, jendela, dan atapnya, sia-sia belaka. Semua orang dituntut belajar, mempelajari apa pun yang diperintahkan agama ini. Termasuk mempelajari suatu ilmu yang tidak segera diamalkan. Naik haji misalnya, meskipun tak satu pun penduduk di kampung ini yang mampu naik haji, jangan tanya kapan mereka akan berangkat, termimpikan pun tidak, tetap saja mengetahui ilmu naik haji jelas penting."
"Dalam urusan apapun, penting sekali memilii ilmunya. Maka, anak-anak sekalian, tuntutlah ilmu sejauh mungkin, renungkan dia dari tempat-tempat jauh, kumpulkan dia dari sumber-sumber terbaik, guru-guru yang tulus, agar terang cahaya kalian, terang oleh ilmu itu. Jangan bosan karena waktu. Jangan menyerah karena keterbatasan. Jangan malu karena ketidaktahuan."
Lalu, mengajarkan tentang hakikat cinta. Baik itu cinta kepada orangtua, cinta kepada keluarga, atau cinta kepada lawan jenis sekali pun.
"Hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya. Percayalah, jika memang itu cinta sejati kau, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali pecinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya, berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya erat-erat."
"Cinta itu tidak harus memiliki, tidak harus mengekang. Karena dengan begitu kita justru membuat arti cinta itu jadi dangkal. Semua orangtua, selalu bersedia melepaskan anak-anaknya pergi, meski itu membuatnya amat sedih, kehilangan."
"Tidak pernah ada kata terlambat dalam belajar, Nak. Tidak kemarin, tidak hari ini, juga tidak akan pernah esok lusa."
"Seseorang yang mengerjakan amal, tapi dia tidak tahu tujuannya, tidak paham ilmunya, maka itu ibarat anak kecil yang disuruh mendirikan rumah. Tak tegak tiangnya. Tak kokoh dindingnya. Jangan tanya daun pintu, jendela, dan atapnya, sia-sia belaka. Semua orang dituntut belajar, mempelajari apa pun yang diperintahkan agama ini. Termasuk mempelajari suatu ilmu yang tidak segera diamalkan. Naik haji misalnya, meskipun tak satu pun penduduk di kampung ini yang mampu naik haji, jangan tanya kapan mereka akan berangkat, termimpikan pun tidak, tetap saja mengetahui ilmu naik haji jelas penting."
"Dalam urusan apapun, penting sekali memilii ilmunya. Maka, anak-anak sekalian, tuntutlah ilmu sejauh mungkin, renungkan dia dari tempat-tempat jauh, kumpulkan dia dari sumber-sumber terbaik, guru-guru yang tulus, agar terang cahaya kalian, terang oleh ilmu itu. Jangan bosan karena waktu. Jangan menyerah karena keterbatasan. Jangan malu karena ketidaktahuan."
Lalu, mengajarkan tentang hakikat cinta. Baik itu cinta kepada orangtua, cinta kepada keluarga, atau cinta kepada lawan jenis sekali pun.
"Hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya. Percayalah, jika memang itu cinta sejati kau, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali pecinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya, berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya erat-erat."
"Cinta itu tidak harus memiliki, tidak harus mengekang. Karena dengan begitu kita justru membuat arti cinta itu jadi dangkal. Semua orangtua, selalu bersedia melepaskan anak-anaknya pergi, meski itu membuatnya amat sedih, kehilangan."
Dan, terakhir bagiku adalah tentang proses melakukan perubahan. Yang namanya berubah tentu saja butuh proses, tidak bisa langsung berubah begitu saja. Nah, dalam menghadapi sebuah proses tersebutlah hal yang terpenting terletak pada bagian memulai melakukan perubahan itu sendiri. Ketika kita hendak mau berubah, tentu niat untuk melakukan perubahan justru menjadi yang penting.
"Dalam sebuah proses perubahan, selalu bagian terpentingnya adalah memulai perubahan tersebut. Persis seperti bola salju yang menggelinding atau kartu dirobohkan, itulah awal segalanya. Sisanya, apakah berhasil hingga ke ujung, membesar, bermanfaat, atau sebaliknya gagal, terhenti, tidak banyak faedahnya adalah hal lain, misteri Tuhan yang di luar kendali kita."
Dan, itulah ulasan tentang novel 'Si Bungsu' Amelia. Sosok Amelia bagiku, memberikan banyak pelajaran, meski di usianya yang terbilang masih kecil sekali pun, tapi pemikirannya sudah jauh kedepan dan tidak seprti anak pada umumnya yang sesuai seperti Amel.
Semoga dari ulsanan tersebut, dapat membantu menumbuhkan minat untuk membaca novel Amelia ini. Selain itu juga, ada hal atau pelajaran yang bisa diambil setelah selesai membacanya. Selamat malam dan jangan lupa baca buku! :)