Senja Untuk Raga
Pergantian sore menjadi
malam selalu menjadi momen yang kutunggu. Ketika langit biru perlahan berganti
jingga. Pancaran sinar mentari yang meredup terasa hangat menyentuh permukaan
kulit. Burung-burung terbang ke arah barat seakan senja adalah rumahnya. Entah mengapa
aku menyukai momen itu, apa lagi ketika senja datang saat itu, kamu pun datang.
Hari itu untuk pertama kalinya, aku bertemu denganmu. Tiba-tiba kamu
menghampiriku yang sedang duduk sendirian di pasir putih, sambil menikmati
langit jingga, debur ombak, serta semilir angin yang bertiup lembut, membuat
rambut panjangku yang terurai sedikit berantakan.
“Boleh aku duduk di
sini?” tanyamu saat itu sambil tersenyum simpul.
Aku menoleh ke arah
suara yang terdengar hangat ditelingaku. Ketika kutahu suara itu, ternyata berasal
dari suaramu. Pria bertubuh lebih tinggi sekitar 15 cm dariku. Tingginya
kira-kira 175 cm. Alis mata tebal dengan tulang hidung yang tampak jelas,
menunjukkan hidung mancung. Matanya menatap ke arahku seakan berbinar-binar.
Aku masih terus memerhatikanmu dengan tatapan terkesima. Tidak menanggapi
pertanyaanmu, sehingga membuatmu kembali bertanya lagi, “Boleh aku duduk di
sampingmu?”
Kemudian aku tersadar
dan tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangguk pelan dan berkata, “Ya,
boleh.” Kamu pun duduk di sampingku. Hanya menyisakan jarak sekitar 20 cm. Lalu,
kamu mulai membuka percakapan yang tak biasa dan sangat menarik perhatianku. Kamu
lebih banyak bercerita dariku saat itu. Sementara aku lebih banyak
mendengarkan, takjub sambil terus memandangimu yang asyik bercerita. Dari situ
aku mulai mengetahui sedikit demi sedikit tentangmu.
Raga, pria berusia 27
tahun, bekerja sebagai fotografer yang lebih banyak membidik foto-foto
keindahan alam. Tapi, bagimu pekerjaan itu seperti liburan yang menyenangkan.
Kamu tampak menikmati pekerjaanmu dan sangat bersemangat menceritakannya, “Diantara
banyaknya keindahan alam yang berhasil kutangkap. Aku lebih suka menangkap keindahan
senja,” katamu, lalu menunjukan foto-foto senja yang berhasil kamu abadikan
melalui kameramu, yang selalu menjadi teman perjalananmu.
Bagiku senja saat itu
merupakan senja terindah dalam hidupku. Karena aku bertemu dan melewatinya
bersamamu. Seakan kita dipertemukan alam lewat keindahan senja. Namun, langit yang
mulai menggelap. Cahaya jingga kemerah-merahan yang mulai menghilang. Memberi
tanda, berakhirnya pertemua singkatku denganmu. Saat itu aku berharap senja
datang lebih lama, agar aku bisa bersamamu lebih lama. Kamu juga berpikir sama
denganku. “Arini, aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita,” katamu saat itu,
“Aku masih ingin bertemu denganmu lagi, mengenalmu lebih dekat lagi.”
Ternyata berakhirnya
senja tidak hanya membuatku merasa sedih seorang diri, kamu juga merasa
demikian. Air wajahmu menunjukan dengan sangat jelas, bahwa kamu sama sedihnya
denganku. Namun sayang, tak ada yang bisa menahan kepergian senja, sama seperti
aku yang tak bisa menahan kepergianmu dari tanah kelahiranku, Yogyakarta.
“Sudah kutuliskan
alamat rumah dan nomor ponselku,” ujarku sambil tersenyum mengembang malu-malu.
“Besok aku akan
pergi. Aku akan menghubungimu setelah tiba di Gili Trawangan, aku akan
mengirimkan surat setiap minggunya, akan aku usahakan sebisaku,” katamu,
meyakinkanku.
Sebenarnya, aku bukan
orang yang mudah akrab dengan orang yang baru kukenal. Tapi, pengecualian
untukmu. Karena mengenalmu memberiku kebahagian. Sejak kepergianmu, selain
sibuk menulis novel dan mengajar bahasa Indonesia di SMP 1 Yogyakarta.
Kegiatanku bertambah, yaitu menulis surat dan menunggu pak pos datang membawa
suratmu.
Awalnya setiap minggu
sekali kamu mengirimi aku surat, tapi semakin lama suratmu jadi semakin jarang datang.
Kadang satu bulan bisa dua atau tiga, bahkan pernah hanya sekali. Aku sempat
kesal, lalu memintamu untuk berkirim pesan melalui ponsel. Tapi, kamu bilang
lebih menyenangkan berkirim surat dibandingkan pesan dari ponsel. Aku juga
sempat kesal dengan diriku sendiri, kenapa waktu itu aku tidak meminta nomor
ponselmu juga. Hanya memberi nomor dan alamat rumahku saja. Kalau seperti ini
aku yang jadi sengsara karena sangat merindukanmu.
Di suratku yang
minggu lalu kukirim padamu, aku mengatakan bahwa aku merindukanmu. Sangat
merindukan. Kuharap dengan kutulis pesan rindu itu, kamu menjadi lebih sering
mengirimi aku surat. Tapi, setelah mendapat surat darimu tiga minggu kemudian,
kamu hanya menanggapinya seperti ini, “Saat ini aku sedang berada di Kalimantan,
selama seminggu aku pergi ke pedalaman hutan, menangkap foto-foto untuk diburu
dan diabadikan. Akses di sini cukup sulit. Kamu jangan khawatir, kurasa ada
baiknya kita jarang berkirim surat. Dengan begitu, bisa membuat kita merasakan
perasaan rindu yang sangat mendalam. Aku harap, kamu bisa merasakan perasaan
seperti itu juga, Arini.”
Di setiap surat yang
kamu kirimkan, tak lupa kamu selipkan foto senja di tempatmu berada. Sudah
banyak sekali foto yang kamu kirimkan. Aku sampai punya satu album foto yang hanya
berisikan foto-foto senja pemberianmu. Lalu, di sampul depannya kutulis ‘Senja
dari Raga’.
Setahun berlalu,
hubungan kita semakin dekat dan masing-masing dari kita mulai mengenal banyak
hal. Tapi, belum ada kejelasan mengenai hubungan diantara kita, Raga. Sampai
akhirnya kamu mengungkapkan perasaanmu lebih dulu. Kamu mengungkapkannya di
paragraf terakhir suratmu, yang berisi lima lembar itu, “Arini, sudah hampir
satu tahun aku mengenalmu. Setahun, mengenalmu melalui surat-suratmu, membuat
perasaanku semakin yakin denganmu. Maafkan aku, karena selama setahun aku harus
meyakini diriku dulu. Dan, baru sekarang aku berani mengungkapkannya. Arini, apakah
kamu mau menjadi senja untukku?”
Setelah membaca berulang-ulang
isi surat itu, akhirnya aku kirimkan balasan yang berisi, ‘aku mau menjadi
senja untukmu’ di akhir suratku. Seminggu setelah mengirim surat, untuk pertama
kalinya dalam setahun itu aku kembali mendengar suaramu, “Arini, kamu yakin
benar-benar ingin menjadi senja untukku?” tanyamu mengawali percakapan di
telpon, tanpa basa-basi.
“Raga? Apakah ini
Raga?” tanyaku tak percaya. Meski aku baru bertemu denganmu sekali. Tapi,
rasanya aku sudah sangat mengenal suaramu. Dan, ternyata memang itu kamu yang
menelponku.
“Ya, ini aku Arini.
Aku sangat merindukanmu. Maaf atas keterlambatan suratku. Aku harap kamu bisa
mengerti kondisiku saat ini. Aku masih di Kalimantan. Baru kembali dari hutan
dua hari yang lalu. Dan, baru bisa menghubungimu sekarang.” ujarmu menjelaskan,
“Aku masih tak percaya dengan jawabanmu itu. Makanya, aku menelponmu untuk
meyakinkan lagi bahwa kamu tidak salah menulis surat balasanku.”
“Iya, balasan suratku
itu benar. Kamu tidak salah membacanya,” ujarku singkat. Aku sangat malu
bercampur bahagia saat itu. Kami bertelponan sekitar satu jam. Tapi, itu satu
jam berharga bagiku. Bisa mendengar suaramu lagi.
“Arini, sekali lagi
terima kasih karena kamu sudah bersabar menungguku, meyakinkan hati. Maafkan
aku Arini, karena belum bisa menemuimu. Setelah perjalanan panjang ini, aku
akan mendapat liburan. Saat waktu itu datang, aku akan segera menemuimu.
Bersabarlah. Aku mencintaimu, Arini,” ujarmu.
“Aku juga Raga,
sangat mencintai dan merindukanmu,” balasku, mengakhiri semuanya. Tak ada
balasan lagi setelah itu.
Waktu terus berjalan.
Begitu juga dengan hubunganku bersama Raga, tanpa terasa hubungan kami sudah memasuki
satu semester. Aku cukup sabar menunggunya kembali. Namun, di tengah hubungan
itu, masalah menghampiriku. Mengancam hubungan kami. Orangtuaku akan menikahi
aku dengan pria pilihan mereka. “Nak, bapak dan ibumu sangat ingin melihatmu
menikah. Usia kamu sudah sangat sepuh. Kalau menunggu terlalu lama, Bapak
khawatir umur bapak dan ibu tidak sampai pada pernikahanmu,” ujar Bapak yang
tiba-tiba mengajakku berbicara soal pernikahan selepas makan malam.
“Iya, Ibu setuju
dengan Bapakmu. Kami juga sudah memilihkan pasangan yang cocok untukmu. Dia
anak dari teman ayahmu, dia anak yang baik. Tiga bulan lagi dia akan datang ke
sini bersama orangtuanya, untuk berkenalan dan membicarakan soal pernikahanmu.”
“Pak, Bu, Arini sudah
memiliki kekasih. Arini tidak mau dijodoh-jodohkan. Apa lagi dengan laki-laki
yang belum pernah Arini temui,” bantahku.
“Lalu, kamu mau
menunggu kekasihmu itu? Yang sampai saat ini, Bapak dan Ibumu saja tidak pernah
bertemu dengannya. Bagaimana bisa, Bapak menikahkan kamu dengan laki-laki
seperti itu, hanya mengirimkan surat tanpa pernah datang menemuimu,” ujar Bapak
dengan nada tinggi.
Setelah mendengar
penjelasan Bapak dan Ibu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka
bersikeras tetap akan menjodohkanku dengan pria pilihan mereka. Meski sampai
saat ini aku belum pernah bertemu dengannya. Aku hanya mengetahui namanya,
Satrio.
Tiga minggu yang lalu
setelah mendapat kabar tentang perjodohkanku itu, aku juga mendapat surat dari Raga. Tapi, sampai saat ini aku belum berani
membalas suratnya. Apalagi memberitahunya tentang perjodohan yang tak
kuinginkan ini. Aku belum siap. Selama itu, aku hanya membaca kembali
surat-suratnya, memandangi foto-foto darinya, atau pergi ke pantai yang tak
jauh dari rumah, sekadar menyaksikan senja sambil berpikir. Setelah lama berpikir.
Akhirnya, kuputuskan untuk membalas suratnya. Aku memberi tahunya juga tentang
perjodohan ini. Tapi, aku belum siap menerima balasan darinya. Apa lagi jika menerima
kabar bahwa hubungan kami harus berakhir.
Satu hari sebelum
pertemuanku dengan calon suami dan keluarganya, aku masih belum menerima
balasan surat dari Raga. Mungkin, hubungan kami memang harus berakhir sehingga
dia tak mau membalas suratku lagi. Mungkin, ini sudah menjadi jalanku,
menemukan pasangan melalui perjodohan ini.
Hari perjodohanku pun
tiba. Orangtuaku sangat sibuk mempersiapkan hari ini. Segalanya dipersiapkan
begitu matang. Mereka antusias dan terlihat bahagia, wajahnya berseri-seri, tak
sabar menanti kedatangan calon menantu dan keluarganya. Sementara aku, masih
memikirkan Raga yang sampai saat ini masih belum membalas suratku. Aku sedih
dan kecewa karena hubunganku berakhir tanpa kejelasan.
“Nak, kamu sudah siap? calonmu sudah datang,”
ujar ibu memberitahu.
“Iya Bu, Arini sudah siap. Sebentar lagi
keluar,” jawabku dari kamar.
“Raga, maafkan aku.
Aku harus melupakanmu,” ujarku sambil menutup album foto dari Raga. Kemudian
menyimpannya dalam kotak, yang di dalamnya berisi surat-surat darinya. Setelah
itu, aku keluar dengan perasaan kalut. Dari balik pintu kamar, aku sudah bisa
mendengar suara Ibu, Bapak, serta beberapa orang yang tidak aku tahu, tapi aku
yakin itu pasti Satrio dan orangtuanya. Aku melangkah keluar menuju ruang tamu
sambil berjalan gontai dan menundukkan kepala. Bapak yang melihatku menuju
ruang tamu segera memanggil dan memperkenalkanku, “Nah, itu dia anaknya. Arini,
ayo kemari.”
Ketika kutegakan
kepala, lalu menatap lurus ke depan. Mataku beradu dengan matanya, calon
sumaiku, Satrio. Aku sejenak terdiam ketika melihatnya. Aku tidak percaya
melihat pria di hadapanku itu.
“Raga,” sapaku tak
pecaya.
“Hai, Arini,” sapanya
lembut, sambil tersenyum manis ke arahku. Senyumannya masih sama seperti
pertama kami bertemu. Dalam sekejap aku sudah menitikan air mata. Namun,
dibalik tangisanku, aku justru tersenyum bahagia. Karena Satrio adalah Raga,
Pria yang akan menjadi calon suamiku.
Raga yang melihatku
menangis, segera bangun dari kursi, lalu menghapus air mataku dengan tangannya
yang terasa lembut diwajah. Bukannya berhenti, aku justru menangis
sejadi-jadinya, dipelukannya. Kemudian ia berbisik lembut, “Maafkan aku, Arini,
sudah membuatmu menangis dan menunggu lama.”
Aku hanya memukul-mukul
pelan dadanya yang bidang sambil terus menangis, “Kamu tega. Jahat. Tidak
membalas surat terakhirku. Padahl setelah perjodohan ini, aku akan segera melupakanmu.
Meski aku sendiri tidak akan sanggup jika harus melupakanmu. Kamu tidak tahu,
betapa menderitanya aku karena terus memikirkanmu dan perjodohan ini.”
“Arini, maafkan aku.
Aku tidak bermaksud melukai perasaanmu seperti ini,” ujar Raga sambil
mengusap-usap bahuku, berusaha menenangkanku. Lalu mengajakku duduk bersama.
Setelah tangisku mereda, Raga mulai menceritakan semuanya, mulai dari pertemuan
pertama kami di pantai ketika senja.
Hari itu, sebenarnya
Raga sudah mengetahui aku dan perjodohan kami melalui orangtuanya yang tinggal
di Yogyakarta. Tapi, karena perjodohan yang tiba-tiba itu Raga masih belum bisa
menerimanya. Ia meminta orangtuanya untuk mengenalku lebih deket dan ingin
meyakinkan hatinya. Makanya, saat itu ia datang menemuiku dan berkenalan
denganku tanpa pernah menceritakan soal perjodohan yang sudah diatur orangtua kami.
Setelah merrasa cukup
mengenalku melalui surat-surat yang kutulis, barulah Raga merasa yakin. Ia juga
sengaja tak membalas suratku karena ingin memberiku kejutan ini, dengan datang
menemuiku bersama orangtuanya. Untuk melamar dan menceritakan semua cerita yang
tak sempat ditulisnya. Bagiku Raga seperti senja yang selalu menjadi momen yang
kutunggu-tunggu. Dan aku seperti burung yang terbang ke arahnya setelah senja
datang. Aku menyukainya sama seperti aku menyukai senja di langit biru yang perlahan
berganti jingga.